“ketika yang nyata tidak lagi seperti adanya, nostalgia menemukan maknanya yang sempurna”
Simulations—Jean Baudrillard
Tak ada yang pernah menyangka, Magnum Opus seorang Gutenberg menjadi faktor penentu perkembangan masyarakat modern. Revolusi cetaknya telah membawa perubahan besar yang terus mengalami percepatan hingga kini. Invensi-invensi teknologi informasi dan komunikasi terus berkembang pesat secara massif bahkan telah jauh meninggalkan media-media sebelumnya yang eksponensial.
Para penemu agaknya bisa tercengang melihat temuannya telah berevolusi dan bermetamorfosis di luar angan-angan mereka sebelumnya. Perubahan yang sangat kentara sekaligus paling dahsyat yang dirasakan penduduk bumi adalah teknologi internet. Internet mampu melenyapkan batas-batas sosial, geografis, politis, teritorial, bahkan nasionalisme sekalipun. Dunia benar-benar hanya selebar daun kelor. Marshall McLuhann dalam bukunya Understanding Media (1964) menyebut keadaan ini dengan istilah “Global Village”.
Inilah dunia mutakhir itu, era artifisial yang telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial kita. Internet telah menciptakan deteritorialisasi (deterritorialization) dalam pengertian melenyapkan konteks teritorial dalam relasi sosial. Jika dulu kakek-nenek kita menjalani interaksi sosialnya (harus) dengan tatap muka (face to face), maka kini interaksi telah jauh melampaui itu. Maka tak heran jika kini banyak orang yang memenuhi kebutuhan sosialnya dengan cara bercengkerama lewat Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, berkirim e-mail dengan teman di benua seberang, bercakap-cakap mengenai tesis dengan dosen yang sedang berada di negara lain lewat zoom, google meet atau whatsapp. Dunia telah berada dalam genggaman. Pertukaran informasi dan komunikasi pun menjadi tak terkendala waktu dan ruang.
Terbentuknya dunia baru sebagai akibat dari pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menciptakan berbagai definisi baru tentang realitas. Realitas bukan lagi seperti yang biasa kita kenal. Dunia realitas baru telah bermetamorfosis dimana representasi tidak lagi berkaitan dengan kebenaran; info tidak lagi mengandung objektivitas pengetahuan. Dunia baru tersebut dibangun oleh berbagai bentuk distorsi realitas, permainan bebas tanda, penyimpangan makna, dan kesemuan makna.
Kondisi tersebut dinamakan sebagai kondisi hiperealitas atau posrealitas, yaitu sebuah kondisi yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas itu sendiri telah dilampaui dalam pengertian asumsi-asumsi konvensional yang disebut nyata telah diambil alih oleh substitusi-substitusi yang diciptakan secara artifisial lewat bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Istilah hiperealitas sendiri dipopulerkan oleh Jean Baudrillard dan Umberto Eco (keduanya seorang filsuf). Di dalam ruang-ruang tertentu (internet) telah terjadi peleburan antara realitas dan fiksi, antara tanda dan referensi, bersimbiosisnya model dan citraan. Di dalam internet pula misalnya, antara gambar yang merupakan hasil dari manipulasi teknologi pencitraan (imagology) dengan gambar yang merupakan rekaman realitas (seperti fotografi atau camcorder) tidak dapat dibedakan lagi (Piliang, Posrealitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika; 75).
Kondisi hiperealitas dicontohkan ketika banyak orang terhubung dalam sebuah ruang sosial virtual dalam dunia maya (cyberspace) yang sedang melakukan interaksi atau bercakap-cakap. Komunikasi dalam chatting, Facebook, Twitter, dll disatukan bukan oleh sebuah ruang sosial yang mengikuti hukum-hukum alam (Newton) melainkan sebuah ruang sosial yang menggunakan hukum informasi. Relasi yang tercipta bukan secara ilmiah dalam sebuah teritorial yang nyata, tetapi di dalam teritorial halusinasi yang terbentuk dari bit-bit informasi.
Perlahan, kondisi ini bisa mengakibatkan—meminjam istilah Yasraf—“kematian sosial”, dimana setiap orang “tenggelam” dalam hiruk pikuk ruang sosial artifisial, seperti bermain Mobile Legends, PUBG, melempar guyonan di Twitter, belanja lewat shopee, tokopedia, bertemu melalui zoom, memuaskan nafsu di dalam cybersex, melakukan kejahatan digital (hacker).
Di dalam ruang-ruang sosial cyberspace terdapat cyber-society yaitu berkumpulnya orang-orang dalam sebuah ‘wadah’ tertentu. Cyber-society menciptakan kondisi dimana identitas menjadi genting. Setiap orang bisa memerankan peran yang berbeda-beda dalam sebuah ruang virtual. Username atau id pun bisa selamanya diciptakan sesuai dengan kehendak kita meskipun tak sesuai dengan kenyataan. Kita bebas membuat akun dengan nama apapun. Tak ada yang bisa tahu dengan pasti siapa sejatinya orang yang kita hadapi di dunia maya. Kita juga bisa jadi tak pernah tahu bahwa seseorang yang baru kita kenal lewat aplikasi dating (Tinder, Tantan dll) yang mengaku single, pada kenyataannya sudah bersuami/beristri-kan orang. Betapa permainan identitas bisa sangat niscaya.
Pada tingkat individu, dunia komunikasi virtual di dalam cyberspace dapat pula menyebabkan semacam ketergantungan atau kecanduan (addiction) khususnya dalam bentuk kecanduan komunikasi. Kecanduan tersebut bisa menjelma menjadi semacam ekstasi yang memungkinkan orang betah berlama-lama menatap smartphone untuk sekedar berbagi status terbarunya dalam Facebook atau twitter, mengunggah video di Instagram atau Tiktok. Bahkan ada yang bisa ‘sakaw’ jika beberapa jam saja tak menengok situs-situs pertemanannya.
Ekstasi diartikan sebagai semacam keterpesonaan, kegairahan dalam mengkomunikasikan segala hal dalam bentuk teks, tanda, maupun citra. Dalam pengertian yang lebih umum, ekstasi merupakan sebuah kondisi mental yang berada di luar kendali akal sehat atau keadaan yang melampaui batas. Dengan demikian, ekstasi dicirikan keharusan untuk tampil, hadir, eksis tanpa peduli dengan ada atau tidaknya tujuan, tanpa peduli dengan ada atau tidaknya pesan, makna, fungsi dan nilainya bagi peningkatan kualitas manusia. Komunikasi terus berlangsung di dalam komunitas dunia maya (cyber-society) baik di situs-situs pertemanan, chat lewat aplikasi, meskipun orang tak terlalu memerlukannya.
Pada akhirnya kita harus mengamini ucapan McLuhann bahwa, “medium itu sendiri telah menjadi pesan” (Medium is the message). Artinya orang yang hanyut di dalam pesona medium (internet) sering tak peduli lagi dengan pesan di dalamnya. Jika kita cermati, pada salah satu media sosial Tiktok misalnya, kita akan menemukan gejala ekstasi di sana yaitu ketika konten yang ada sudah tak lagi berdasarkan nilai fungsi atau guna, melainkan berdasarkan logika ekstasi sendiri (tanda dan citra).
Begitulah, tulisan ini tak hendak memberikan “tuduhan” yang buruk terhadap kondisi-kondisi seperti tersebut di atas. Tulisan ini hanya (setidaknya) mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya di tengah-tengah “air bah” citraan-citraan, tanda, serta objek-objek simulasi yang mengalir di hadapan kita, telah membuktikan “Global Village” Marshall McLuhann memang sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Pun, kita sudah menjadi bagian dari “Global Village” itu sendiri.